Atap, suatu elemen bangunan yang sangat berperan dalam menentukan ciri dan bentuk bangunan. Bicara mengenai atap pada masa sekarang, apalagi untuk bangunan bangunan tinggi, tentunya gambaran yang ada ialah atap datar dengan bentuk arsitektur modern ataupun post-modern. Padahal, bila ditinjau asal mulanya, arsitektur tradisional kita hanya mengenal atap miring sebagai pelindung dan pada dasarnya atap diperlukan untuk melindungi kita dari cuaca.
Dengan demikian, bentuk atap pun juga tergantung dari cuaca/iklim. Dan memang bentuk miring atap ditujukan antara lain untuk menyalurkan curah hujan agar cepat turun. Dengan membandingkan dengan bentuk-bentuk atap di daerah Mediterania, yaitu daerah dengan iklim sub-tropis, dimana hampir tidak ada curah hujan. Justru itu, bentuk atapnyapun cukup dibuat datar saja, asal bisa membentangi jarak antara dinding dindingnya. Pada perkembangan selanjutnya, muncul bentuk-bentuk lengkungan karena jarak bentang yang semakin jauh. Bahkan bentuk lengkung ini juga dipakai, walaupun jarak bentang tidak terlalu jauh.
Atap Datar
Dahulu, kita mengenal bentuk atap yang bermula dan konstruksi kerangka dan kemudian ditutup dengan penutup atap. Kemudian semakin berkembang bentuk atap, walau dalam hal teknologinya justru agak statis. Belakangan, setelah teknologi berkembang dan mulai diintroduksi beton, maka sudut-sudut atappun mulai bervariasi, dengan perkembangan beton memungkinkan atap datar. Sehingga yang tadinya atap datar itu asing bagi kita, kini sudah mulai banyak dipakai dan menjadi tidak asing lagi, bahkan atap datar itu pada bagian atasnya dapat dipergunakan lagi. Dan kemudian semakin berkembang karena merupakan salah satu perangkat dari dalil-dalil arsitektur modern.
Bagaimanapun bangunan itu perlu ada atapnya, karena atap merupakan citra suatu bangunan. Dapat pula diartikan sebagai simbol martabat, ibarat topi pada manusia. Dengan demikian, bangunan-bangunan memang berusaha menampilkan atap. Atau paling tidak, untuk bangunan yang menggunakan atap datar selalu membuat teritis yang lebar sebagai konsekuensi iklim tropis.
Tapi, kita tak perlu khawatir, sekarang sudah mulai tampak bahwa atap akan kembali menghias bangunan bangunan kita masa kini. Para arsitekpun sudah terlihat memiliki kecenderungan untuk kembali merangkul atap itu. Tidak hanya dikepala, tapi juga di “tangan tangannya”, di’ ‘sisik-sisiknya”, seperti gedung Rektorat di kampus UI Depok, misalnya. Ataupun Wisma Dharmala karya Paul Rudolf itu.
Kontekstual
Seyogyanya bangunan itu mencirikan keadaan setempat, apalagi untuk daerah daerah yang memang memiliki ciri karakteristik bangunan tersendiri. Namun konsep kontekstual tersebut memang perlu dipertanyakan pada bangunan-bangunan dengan bentang besar, seperti Hanggar pesawat, misalnya.
Pada masa sekarang teknologi sudah maju dan konstruksi juga semakin beragam sehingga memungkinkan suatu bentuk yang tersendiri dan khas, misalnya dengan sistem konstruksi gantung, tabung dan sebagainya. Dengan bentuk-bentuk tersendiri itu, tidak terlihat lagi keterikatannya dengan lingkungan setempat, sehingga kemudian dipertanyakan konteksnya. Disatu pihak tuntutan bentang memerlukan konstruksi khusus yang tidak konvensional, di lain pihak konteksnya dipertanyakan. Salah satu diantaranya “form follow the function”
Peran atap yang dianggap penting adalah memang berdasarkan fungsi fisik yaitu melindungi aktifitas dibawahnya dan keadaan/kondisi iklim, namun tidak boleh dilupakan juga peran makna/simbol yang terkandung didalamnya. Tidak banyak arsitek yang menggunakan makna simbol pada atap dalam bangunan rancangannya, namun bukan berarti tidak ada. Suatu contoh adalah Rektorat UI di kampus Depok. Bangunan ini berperan sebagai simbol lingkungan, sebagai titik orientasi dan tengeran (trade-mark) kampus UI. Perwujudan makna dan simbol ini sebenarnya berkaitan dengan perwujudan nilai-nilai estetik dan keduanya selalu menyatu serta menghasilkan suatu obyek yang mudah diterima masyarakat dan disukai, bila tersaji dengan baik.
Dalam pelaksanaannya, pemakaian atap banyak dikaitkan dengan penggunaan genteng sebagai bahan penutup atap. Padahal sekitar tahun enam puluhan banyak dipakai atap sirap. Hal ini disebabkan bahwa kualitas atap sirap yang kita peroleh sekarang ini sulit dan agak kurang baik, sehingga daya tahannya juga berkurang. Setelah sepuluh tahun pada umumnya paku-pakunya berkarat dan dapat mengakibatkan bocornya atap.
Severity: Notice
Message: Trying to get property of non-object
Filename: blog/index.php
Line Number: 62